Selamat membaca
Logam
semoga bermanfaat
Showing posts with label Logam. Show all posts
Showing posts with label Logam. Show all posts

Perbedaan antara Besi dengan Baja

Besi dan baja merupakan jenis logam yang serupa namun bisa dikatakan berbeda atau tak sama. Besi dan baja masuk ke dalam logam jenis ferrous atau logam dengan bahan dasar Fe. Banyak orang awam yang menyamakan derajat dua material tersebut. Lalu apa sih perbedaan mendasar dari logam besi dan baja.
Perbedaan antara Besi dengan Baja
Ilustrasi: Iron Man (besi) vs Man of Steel (Baja) 

1.        Dengan Cara Memukulnya

Cara ini bukan candaan tapi merupakan cara yang paling mudah untuk membedakan material tersebut merupakan besi atau baja. Material baja jika dipukul akan menghasilkan bunyi yang nyaring, coba saja pukul material baja yang ada di sekitar rumah, seperti pagar rumah, dan sepeda. Nyaring kan bunyinya! Berbeda dengan material baja, besi jika dipukul tidak menghasilkan bunyi yang nyaring dan seperti teredam oleh sesuatu hal. Coba pukul blok mesin pada motor, maka suara tidak akan muncul. Hal tersebut terjadi karena pada besi terdapat grafit yang dapat meredam getaran. Oleh karena itu material besi banyak digunakan pada blok mesin yang diperuntukkan agar blok mesin tidak menerima getaran terlalu berlebihan.

2.        Kandungan Karbon

Jika dilihat secara mikro, material besi dan baja tidak hanya tersusun oleh Fe saja, namun terdapat karbon didalamnya. Jika ditinjau dari ilmu material, perbedaan antara baja dengan besi dapat dilihat pada diagram Fe-Fe3C berikut ini. Di mana material dikatakan baja jika memiliki kandungan karbon kurang dari 2%, sedangkan untuk kadar karbon lebih dari 2% material tersebut dikatakan besi.
Perbedaan antara besi dengan baja
Diagram Fe-Fe2C
Pada baja, karbon akan larut di dalam Fe membentuk fasa ferit (α)/Fe3C dengan bentuk lamellar atau sering disebut fasa perlit. Sedangkan pada besi, karbon akan membentuk grafit yang bebas.
Struktur Mikro Baja (kiri) dan Besi (kanan)
Struktur Mikro Baja (kiri) dan Besi (kanan)

3.        Sifat Mekanis

Pernahkan Anda melihat padepokan pencak silat yang sedang latihan mematahkan besi pemegang pompa air mianual atau biasa disebnut “pipa pompa dragon”. Pasti Anda terkesima melihatnya, dan bedecak kagum. Memang hal tersebut memang luar biasa namun apabila pesilat tersebut diberikan tantangan untuk mematahkan pipa baja pasti akan patah juga, TANGANNYA YANG PATAH. 
mematahkan pipa pompa dragon

Dari ilustrasi tersebut dapat dikatakan bahwa besi memiliki sifat yang rapuh/getas. Berbeda jika dibandingkan dengan baja yang memiliki keuletan dan tinggi sehingga baja termasuk material yang tangguh dan tidak mudah patah.

4.        Perbedaan lainnya

Temperatur yang diperlukan untuk melebur baja adalah sekitar lebih dari 15500C sedangkan untuk besi yaitu 1300-14000C. Sedangkan jika dilakukan pemotongan dengan menggunakan gerinda pada baja akan dihasilkan bunga api yang sedikit jika dibandingkan dengan besi.

Dihimpun dari berbagai sumber

Analisis Kegagalan Superheater Tube Pada Fluidized Bed Combuster Boiler

Abstraksi

Kegagalan yang berulang telah ditemukan pada beberapa komponen superheater tube yang terbuat dari baja karbon 2,25Cr–1Mo pada aplikasi circulating fluidized bed combustion boiler. Laporan ini berisi tentang analisa kegagalan dari dua tubes yang berbeda, di mana tube yang terjadi kegagalan dan tube yang mengalami penipisan di salah satu bagiannya. Pada permukaaan kedua tubes tersebut terdapat deposit keras yang tebal dan berwarna keabuan yang merupakan deposit dari CaSO4 dan terdapat lapisan oksida pada permukaan tubes tersebut. Tube yang mengalami kegagalan terindikasi adanya crack yang merambat melewati batas butir (intergranular) dan penetrasi oksida di batas butir dari material dasar tube tersebut. Pada daerah longitudinal tube yang dekat dengan bagian kegagalan diobservasi adanya perpatahan akibat creep. Penyebab utama terjadinya kegagalan yaitu penipisan yang terjadi pada tube akibat siklus pembentukan–spalling dari deposit tebal CaSO4. Efek pelepasan (spalling) dari lapisan tersebut mengakibatkan material dasar akan terkena langsung oleh lingkungan dan menyebabkan pertumbuhan lapisan oksida yang kurang protektif pada permukaan material tersebut. Perpatahan akhir diakibatkan oleh creep karena peningkatan dari hoop stress yang terjadi akibat penipisan pada tube tersebut.    

Untuk Mendapatkan Informasi Lebih Lanjut Mengenai Laporan Analisis Kegagalan Di Atas Silahkan Download Dalam Bentuk:

PDF | PPT



Konstruksi Kurva Larson Miller Parameter

Creep merupakan proses deformasi di mana suatu logam berada dalam lingkungan temperatur tinggi dan terkena tegangan yang statis dalam periode waktu tertentu dan secara perlahan-lahan akan terdeformasi secara permanen sehingga akan mengalami kegagalan. Pada material logam, biasanya creep terjadi pada suhu di atas 0,4Tm (Tm = melting temperature). 
Deformasi yang terjadi karena creep merupakan deformasi yang tergantung pada waktu (time dependent). Oleh katena itu, pada komponen-komponen yang telah beroperasi cukup lama pada temperatur tinggi harus dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui cacat yang dihasilkan oleh proses creep tersebut dengan cara inspeksi menggunakan metode in-situ metallography. Metode tersebut masih memiliki kelemahan, yaitu sulitnya memprediksi kapan komponen tersebut harus dilakukan pergantian agar tidak terjadi kegagalan yang tidak diinginkan (catastrophic failure). Oleh karena itu, metode tersebut biasanya disandingkan dengan pengujian creep agar mendapatkan hasil yang lebih representatf. Data yang dihasilkan dari pengujian tersebut biasanya akan diekstrapolasi dengan menggunakan persamaan Larson Miller Parameter (LMP). Dari persamaan LMP, dapat dikalkulasi umur sisa dari suatu komponen yang telah beroperasi dalam waktu tertentu dan terkena temperatur tinggi. 
ilustrasi peralatan pada pengujian creep
Pengujian creep dilakukan dengan cara mengukur perubahan dimensi yang terjadi akibat pemberian suhu tinggi dan beban yang konstan. Pengujian creep ini biasanya berguna untuk aplikasi yang parameter kegagalannya ialah regangan (strain) tertentu dan tidak harus terjadi perpatahan. Pada pengujian tersebut, variabel bebasnya berupa waktu, kemudian variabel kontrolnya yaitu besar suhu dan tegangan, serta variabel terikatnya berupa regangan. Biasa dilakukan dalam tegangan yang relatif tidak terlalu tinggi dan regangan yang tidak terlalu besar pula (biasanya kurang dari 0,5%), selain itu pengujian ini dilakukan di dalam chamber yang dapat mengontrol besar variabel suhu dan tegangannya. Grafik hasil pengujian creep ini yaitu:
Grafik strain vs waktu dari hasil pengujian creep
Gambar 1. Grafik strain vs waktu dari hasil pengujian creep[1]
Pada pengujian creep biasa, hasilnya tidak terlalu praktikal untuk diaplikasikan pada komponen yang sedang terekspos temperatur tinggi. Sehingga solusi yang bisa dilakukan yaitu dengan menggunakan pengujian creep rupture test pada temperatur yang didesain sedemikian rupa agar sesuai dengan lingkungan aplikasinya, dengan waktu yang singkat, dan dengan beban yang sesuai dengan aplikasinya. Dan prosedur ekstrapolasi yang umum digunakan untuk bisa memprediksi umur sisa material yang sedang digunakan pada temperatur tinggi yaitu persamaan Larson Miller Parameter. Larson Miller Parameter dicetuskan oleh James Miller dan F.R Larson pada tahun 1951 yang dihasilkan dari penurunan persamaan Arhenius, yang didefinisikan sebagai berikut:

persamaan arhenius


di mana   r    = laju proses creep
               ΔH = Energi aktivasi untuk proses creep
               T    = Temperatur absolut
               R    = Konstanta gas
               A    = Konstanta
Dengan menaturalkan persamaan tersebut didapatkan:

penurunan persamaan arhenius

  
Sehingga didapatkanlah rumus Larson Miller Parameter sebagai berikut:

persamaan larson miller parameter


dimana T adalah temperatur absolut (K), tr adalah rupture time atau umur pakai suatu komponen sebelum dia mengalami kegagalan akibat creep dalam satuan jam (h), sedangkan C adalah konstanta bergantung jenis material.
Tabel 1 Konstanta (C) berdasarkan jenis material[2] 
Konstanta (C) berdasarkan jenis material

Pada pengujian stress-rupture, dihasilkan nilai rupture time (tr) yang didefinisikan sebagai waktu yang diperlukan suatu material untuk mengalami kegagalan dibawah pengaruh pembebanan. Biasanya digunakan dalam aplikasi di mana perubahan dimensi masih ditolerir namun perpatahan tidak dapat ditolerir (tidak seperti uji creep biasa yang batas toleransinya ialah nilai perubahan dimensi tertentu). Perbedaan skematis antara uji creep biasa dengan uji stress to rupture yang menghasilkan Parameter Larson Miller adalah sebagai berikut:
Perbandingan antara pengujian creep dengan pengujian stress rupture 
Gambar 2. Perbandingan antara pengujian creep dengan pengujian stress rupture[4]
Dari data hasil pengujian stress rupture dapat di plot kurva tegangan vs LMP, yang diperlihatkan sebagai berikut:
Kurva stress rupture (tegangan vs rupture time) material iron-based alloy S-590 
Gambar 3 Kurva stress rupture (tegangan vs rupture time) material iron-based alloy S-590[2]
kurva tegangan vs larson miller parameter 
Gambar 4 Plot dari kurva tegangan vs LMP dari data pada Gambar 3[2]
Dengan menggunakan grafik LMP tersebut dapat diketahui umur sisa dari suatu komponen yang terkena creep (jenis material dan kondisi operasi harus sama dengan kurva LMP), yaitu dengan mencari besar hoop stress dari pipa atau tube tersebut dengan memakai rumus  
rumus hoop stress
di mana P = tekanan, D = diameter luar dari tube, dan t = ketebalan. Kemudian rupture time-nya dapat dicari dengan rumus LMP yaitu:.
rumus untuk mencari waktu untuk mengalami kegagalan pada rupture test
Silahkan Download Artikel di atas Dalam Bentuk:

DOC | PDF

Daftar Pustaka
[1] Callister, W.D. 1997. Materials Science and Engineering: An Introduction 6th Edition. New York: John Wiley & Sons, Inc.
[2] Hertzberg, Richard. W. 1996. Deformation and Fracture Mechanics of Engineering Materials. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
[3] ASM Handbook Volume 8: Mechanical Testing and Evaluation. ASM International.

[4] https://iit.edu/arc/workshops/pdfs/MaterialsCreep.pdf 

Pemilihan Material untuk Meningkatkan Resistansi Terhadap Creep

Pemilihan dan desain material untuk aplikasi pada temperatur tinggi khususnya untuk menghindari fenomena creep harus mengacu pada permasalahan utama yang terjadi pada material jika terkena temperatur tinggi, yaitu pada temperatur tinggi atom akan bergerak sangat cepat akibat adanya proses difusi dan mengakibatkan ketidakstablian mikrostruktur yang berdampak pada sifat mekanik material tersebut. Pada logam dan keramik pemilihan dan desain materialnya harus mengacu pada aspek-aspek tertentu, yaitu[1, 3]:
1.     Pemllihan material untuk menghindari fenomena dislocation creep
·      Memilih material logam ataupun keramik yang memiliki temperatur leleh yang tinggi (Tm)
·     Melakukan pemaduan (alloying) untuk membentuk solid solution dan atau presipitat yang stabil pada temperatur tertentu untuk memaksimalkan dalam menghalangi pergerakan dislokasi
·      Memilih material (keramik) yang memiliki regangan kisi yang besar seperti beberapa unsur dalam bentuk oksida atau silika, silikon karbida, dan silikon nitride
2.       Pemilihan material untuk menghindari fenomena diffusional crep
·         Memilih material logam ataupun keramik yang memiliki temperatur leleh yang tinggi  (Tm)
·         Menggunakan material dengan butir yang besar
·        Mengatur kehomogenan presipitat pada batas butir untuk meminimalkan proses grain boundary sliding
Proses creep pada logam terjadi di T > 0.3 – 0.4 Tm[3], dan pada keramik terjadi pada kisaran T > 0.4 – 0.5 Tm[3]. Oleh karena itu dibutuhkan material dengan temperatur leleh (Tm) yang tinggi. Semakin tinggi Tm suatu material maka material tersebut sulit untuk mengalami fenomena creep karena temperaturnya tidak masuk dalam kisaran/range terjadinya fenomena creep.     
 Jenis material beserta temperatru lelehnya untuk ketahanan creep
Gambar 1. Jenis material beserta temperatru lelehnya[5]
Kekuatan creep berbagai jenis material pada suhu 950C
Gambar 2. Kekuatan creep berbagai jenis material pada suhu 9500C[5]
                Selanjutnya yaitu material dengan butir yang besar memiliki ketahanan creep yang baik. Karena degnan semakin besarnya butir pada suatu material maka akan mengurangi batas butir yang berdampak pada berkurangnya laju difusi, karena diperlambat dengan sedikitnya batas butir. Selain itu batas butir yang sedikit akan meminimalkan proses grain boundary sliding. Sehingga material single crystal merupakan piihan yang terbaik untuk mengurangi proses creep.
Perbandingan antara besar butir terhadap proses creep[
Gambar 3. Perbandingan antara besar butir terhadap proses creep[1]
Dan yang terakhir adalah dengan merekayasa mikrostruktur dengan cara penambahan unsur paduan agar didapatkan material yang tahan terhadap creep. Tujuan utama dari penambahan unsur paduan ini yaitu untuk memodifikasi fasa matriks agar lebih stabil pada temperatur tinggi dan untuk menghasilkan presipitat dan solid solution strengthening sehingga menyulitkan pergerakan dislokasi dan tidak terjadi deformasi pada material. Unsur-unsur paduan yang ditambahkan antara lain[4]:

·     Ni (hingga 70%): Memberikan kekuatan dan ketangguhan pada matriks, menjadikan matriks memiliki fasa austenite yang stabil pada temperatur tinggi dan untuk menghindari terbentuknya fasa gamma yang getas, meningkatkan ketahanan oksidasi, karburisasi, nitridisasi dan meningkatkan resistansi terhadap thermal fatigue.
·   Cr (10 – 30%): Memberikan ketahanan terhadap oksidasi dan sulfidasi, berikatan dengan karbon membentuk CrC yang memiliki ketahanan creep yang baik dan meningkatkan UTS pada temperatur tinggi. Namun Cr dapat membentuk fasa ferrite yang dapat berubah menjadi fasa gamma yang getas sehingga harus diatur sedemikian rupa.
·   C (0.20 – 0.75%): Membentuk karbida dengan unsur-unsur pembentuk karbida sehingga meningkatkan ketahanan creep dan menambah UTS dalam temperatur tinggi
·       Mo, Zr, Ti, N, dan W: Merupakan unsur-unsur pembentuk karbida dan presipitat [Ni3(Al, Ti)] sehingga dapat menahan laju creep dan pergerakan dislokasi dan presipitat yang tersebar merata dan homogen di daerah batas butir dapat mengurangi resiko terjadinya grain boundary sliding

Sedangkan pada material polimer, pemilihan dan desain material yang dilakukan untuk mengurangi proses creep yaitu dengan cara memilih material dengan derajat cross-lingking yang tinggi, karena Tg berbanding lurus dengan banyaknya cross-linking sehingga akan lebih tahan creep. Kemudian mengurangi berat molekul polimer tersebut, karena dengan semakin tingginya berat molekul maka viskositas akan semakin meningkat sehingga akan lebih mudah untuk creep. Serta memilih material polimer yang mikrostrukturnya semikristalin untuk menambah ketahanan creep. Selain itu material polimer bisa ditambahkan dengan serbuk silika yang digunakan sebagai filler, dan bisa ditambahkan serat-serat fiber sehingga beban yang diberikan akan dibawa oleh fiber tersebut sehingga sifat mekanik dan ketahanan creep-nya meningkat.     
Tabel 1 Range temperatur dan jenis material yang digunakan[3]
Range temperatur dan jenis material yang digunakan untuk ketahanan creep

Contoh material yang digunakan untuk aplikasi ketahanan creep pada temperatur tinggi adalah Nickel-Base Alloy yang dapat bertahan hingga suhu 10390C. Material tersebut memiliki sifat yang baik karena terdiri dari matriks berupa austenitic FCC gamma yang dapat melarutkan unsur=unsur seperti Co, Fe, Mo, Cr, Ti yang membentuk solid solution strengthening serta membentuk presipitat berupa gamma prime berupa Ni3(Al, Ti) yang dapat menghalangi pergerakan dislokasi sehingga sulit terjadi creep.
Mikrostruktur superalloy nickle based yang tahan terhadap creep




Silahkan Download Artikel di atas Dalam Bentuk:

DOC | PDF

Daftar Pustaka
[1] Callister, William D. 2007. Materials Science and Engineering: An Introduction Seventh Edition. USA: John Wiley & Sons, Inc.
[2] ASM Handbook Volume 20: Materials Selection and Design. ASM International.
[3] Ashby, Michael F. dan David R. H. Jones. 2005. Engineering Materials I: An Introduction to Properties, Applications and Design. Elsevier Butterworth – Heinemann.
[4] Suharno, Bambang. 2013. Diktat Kuliah Baja Khusus dan Paduan Super. Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI.

[6] Sofyan, Nofrijon. 2012. Diktat Kuliah Metalurgi Fisik 1. Departemen Teknik Metalurgi dan Material FTUI.

Faktor Utama Penyebab Korosi CO2 (Sweet Corrosion)

Korosi CO2 (Sweet Corrosion)Korosi CO2 biasanya terjadi pada pipa yang diaplikasikan untuk transportasi minyak bumi. Korosi ini dapat terjadi akibat adanya kandungan CO2 pada minyak bumi, dan saat berinteraksi dengan air akan membentuk asam yang dapat menyebabkan korosi. Korosi ini sering disebut dengan istilah sweet corrosion.
Secara umum, CO2 yang terlarut dalam air akan mengalami hidrasi dan akan bereaksi dengan molekul air membentuk asam karbonat dengan reaksi sebagai berikut:
CO2 (g) => CO2 (aq)
CO2 (aq) + H2O (l) => H2CO3 (aq)
Asam karbonat yang terbentuk akan terdisosiasi menjadi bikarbonat dan ion karbonat melalui dua tahap, yaitu:
H2CO3 => H+ + HCO3-
HCO3- => H+ + CO32-
Reaksi yang terjadi pada anoda dan katoda dapat diketahui sebagai berikut:
Anoda: Fe => Fe2+ + 2e-
Katoda: 2H+ + 2e- => H2 dan 2H2CO3 + 2e- => H2 + 2HCO3
Dari reaksi korosi di atas produk yang terbentuk pada logam baja yang digunakan berupa karat FeCO3.
Faktor-faktor yang mempengaruhi korosi CO2 diantaranya adalah:

1.     Tekanan parsial CO2

Peningkatan tekanan parsial CO2 mengakibatkan reaksi reduksi asam karbonat menjadi meningkat, sehingga akan meningkatkan konsentrasi CO32- yang berimbas pada pembentukan lapisan FeCO3 yang lebih cepat.

pengaruh tekanan parsial terhadap korosi co2
§  Sistem dengan tekanan parsial CO2 diatas 30 psi mengindikasikan bahwa korosi sudah pasti terjadi
§  Sistem dengan tekanan parsial 7-30psi, korosi mungkin terjadi.
§  Sistem dengan tekanan parsial dibawak 7 psi, umumnya tidak terjadi korosi

2.     pH lingkungan

Semakin rendah nilai pH, maka laju korosi akan semakin tinggi. Pada korosi CO2, pH akan menentukan reaksi dominan yang terjadi. Pada pH rendah (<4), reaksi reduksi hidrogen merupakan reaksi yang dominan. Sedangkan pada pH tinggi (>4), reaksi yang dominan adalah reduksi langsung dari asam karbonat. Semakin tinggi pH maka akan mudah terbentuk lapisan FeCO3.

3.     Laju aliran fluida

Laju aliran juga akan mempengaruhi terhadap pembentukan lapisan pelindung dan laju korosi baja. Pertama, laju aliran dapat mencegah pembentukan lapisan pelindung karena dapat menurunkan kejenuhan lingkungan. Kedua, laju aliran dapat menimbulkan kerusakan lapisan korosi sehingga memungkinkan terjadinya kontak antara permukaan baja dengan lingkungan yang korosif. Pada laju aliran yang cukup tinggi, lapisan proteksi yang terbentuk pada permukaan logam akan semakin sedikit. Pada lingkungan dengan laju aliran yang sangat tinggi, akan terjadi kerusakan dan terlepasnya lapisan proteksi. Hal ini dapat meningkatkan laju korosi baja pada lingkungan tersebut.
pengaruh laju aliran fluida terhadap korosi co2

4.     Water wetting/water cut

Water cut adalah rasio Antara jumlah kandungan air dalam fluida. Semakin tinggi nilai water cut, korosi akan semakin meningkat yang diakibatkan kandungan air yang semakin banyak sehingga banyak CO2 yang terhidrasi dan akan menambah jumlah konsentrasi asam karbonat sehingga meningkatkan laju korosi.

5.     Temperatur

Meningkatnya temperatur akan meningkatkan reaktifitas dari sistem sehingga akan meningkatkan laju korosi. Selain itu, temperatur juga dapat mempengaruhi pembentukan lapisan FeCO3. Kinetika pembentukan lapisan FeCO3 dipengaruhi oleh temperatur.
pengaruh temperatur terhadap korosi co2
Silahkan Download Artikel di atas Dalam Bentuk:


DOC | PDF

Referensi
[1] Jones, Denny A. 1992. Principles and Prevention of Corrosion. New York: Macmillan Publishing Company.

Mekanisme Korosi Sumuran (Pitting)

korosi pitting
Fig 1 Korosi pitting
Korosi sumuran (pitting) merupakan bentuk korosi yang terlokalisasi dimana akan terbentuk suatu rongga atau lubang pada material. Korosi pitting sering dianggap lebih berbahaya jika dibandingkan dengan korosi merata (uniform), karena bentuk korosi ini sulit untuk diidentifikasi, karena produk korosi yang terbentuk biasanya akan menutupi rongga-rongga serta sulit untuk diprediksi.  Logam yang dapat membentuk lapisan pasif, seperti baja dan aluminium merupakan logam yang paling rentan terserang korosi pitting. Kegagalan material akibat korosi pitting terjadi melalui mekanisme penetrasi dengan persentase kehilangan berat (weight-loss) yang sangat kecil.     
Korosi pitting dapat membentuk suatu rongga atau lubang dengan struktur yang terbuka (uncovered) ataupun tertutup (covered) dengan membran semi permeabel dari produk korosinya. Rongga yang terbentuk dapat pula berbentuk hemispherical atau cup-shaped. Terdapat tujuh bentuk rongga hasil dari korosi pitting, seperti terlihat pada Fig.2.
bentuk korosi pitting
Fig.2 Bentuk-bentuk rongga pada korosi pitting[1]
Korosi pitting terjadi pada lingkungan laut di mana terdapat ion-ion Cl-, Br-, dan I-, Ion-ion tersebut, terutama ion Cl- dapat menyebabkan logam baja terbentuk suatu sistem anoda dan inisiasi pit akan terjadi.

Inisiasi ini dapat terjadi karena beberapa hal, diantaranya:

1.     Rusaknya lapisan pasif yang protektif secara mekanik ataupun kimia, sedikitnya oksigen yang terlarut sehingga meghasilkan lapisan pasif yang tidak stabil, dan konsentrasi yang tinggi dari ion klorida
2.     Proses pelapisan/coating yang tidak merata
3.     Terdapat ketidakseragaman mikrostruktur dari logam tersebut, seperti inklusi

Secara umum terdapat tiga tahapan utama pada mekanisme terjadinya korosi pitting, yaitu
Inisiasi pit (1), propagasi (1-3) dan terminasi (4).

1. Terbentuknya tempat-tempat yang bersifat anodik yang disebabkan oleh terganggunya/rusaknya lapisan pasif pada permukaan logam.
Anoda:   M => Mn+ + ne-   
Katoda:  O2 + 2H2O + 4e- => 4OH-
2.  Karena terjadi proses pelarutan logam secara kontinu, ion-ion logam akan terakumulasi di daerah anoda, sehingga terbentuk rongga-rongga. Dan untuk menstabilkan electron, ion-ion klorida bermigrasi ke dalam rongga dan bereaksi dengan ion logam dan terjadi reaksi hidrolisis. M+Cl- + 2H2O => MOH + H+ + Cl-  
3.     Dengan adanya ion H+ dan Cl- akan mencegah terjadinya repasifasi pada logam. Lalu dengan meningkatnya laju pelarutan logam pada daerah anodik akan mempercepat migrasi dari ion klorida, sehingga akan memperbanyak terbentuknya M+Cl- seperti pada reaksi pada tahap 2. Dan proses tersebut akan berjalan hingga logam tersebut bolong/terbelah, dan prosesnya berupa autokatalitik.
4.     Akhirnya logam tersebut akan bolong/terbelah sehingga mengalami kegagalan.
mekanisme korosi pitting
Fig.3 Mekanisme korosi pitting pada logam[2]

Reaksi-reaksi kimia yang terjadi pada proses korosi pitting yang terjadi pada baja dan stainless steel, yaitu:

·       Reaksi di dalam pit:
Fe => Fe2+ 2e-; Fe2+ + H2O => FeOH+ + H+; MnS + 2H+ => H2S + Mn2+
·       Reaksi pada mulut pit:
Terjadi oksidasi FeOH+ dan Fe2+ oleh oksigen terlarut:
2FeOH+ + 1/2 O2 + 2H+ => 2FeOH2+ + H2O
2Fe2+ + 1/2O + 2H+ => 2Fe3+ + H2O
Diikuti dengan hidrolisis dari produk reaksi diatas:
FeOH2+ + H2O => Fe (OH)+ + H+
Fe3+ + H2O FeOH2+ + H+
Lalu terjadi presipitasi magnetite (Fe3O4) dan karat:
2FeOH2+ + Fe2+ + 2H2O => Fe3O4 + 6H+
Fe(OH)2+ + OH- => FeOOH + H2O
·       Reaksi di luar pit:
Terjadi reduksi dari oksigen terlarut
O2 + 2H2O + 4e => 4OH-
Dan reduksi karat menjadi magnetit
3FeOOH + e- => Fe3O4 + H2O + OH-
mekanisme korosi pitting pada baja
Fig.4 Mekanisme pitting pada baja[2]

Pencegahan dari korosi pitting dapat dilakukan dengan cara:

·  Menggunakan material dengan elemen paduan yang ditujukka untuk pitting resistance contohnya penambahan molybdenum pada stainless steel
·       Menjaga agar permukaan material merata
·       Meng-coating material dan menggunakan proteksi katodik dan inhibitor
·       Jangan biarkan potensial melewati nilai kritis
·       Jika memungkinka dioperasikan pada temperatur rendah

Silahkan Download Artikel di atas Dalam Bentuk:

DOC | PDF
Referensi
[1] Jones, Denny A. 1992. Principles and Prevention of Corrosion. Singapore: Macmillan Publishing Company.
[2] Ahmad, Zaki. 2006. Principles of Corrosion Engineering and Corrosion Control. Elsevier Science & Technology Books.
[3] Frankel, G. S. Pitting Corrosion. The Ohio State University.

Popular Posts